Total Tayangan Halaman

Selasa, 04 Agustus 2015

Perjalanan Insan Cita: Sebuah Pengantar



Oleh: Fitria Irmalasari *)
*) Ketua Umum HMI FIB UI 2015 dan Mahasiswi Program Studi Ilmu Perpustakaan dan Informasi
Catatan perjalanan kami selama kepengurusan Himpunan mahasiswa Islam (HmI)Fakultas Ilmu Pengetahuan (FIB) Universitas Indonesia(UI) memang sarat akan pengalaman yang sangat berharga bagi kami selaku kader HMI. Pengalaman di HMI memiliki nilai lebih yang kami anggap luar biasa sebagai insan cita yang sedang haus akan pembelajaran. Sudah biasa dalam suatu organisasi menyiapkan strategi organisasi yang direpresentasikan melalui struktur organisasi; tugas, pokok, dan fungsi organisasi yang akan dijalankan selama kepengurusan. Jika kegiatannya demikian, bukan mustahil apabila terjadi kebosanan dalam melaksanakan program kerja. Maka dari itu, kami menamai diri sebagai “insan cita” yang senantiasa haus akan pengetahuan dan butuh pengamalan kehidupan dalam mempersiapkan masa depan yang lebih berkualitas. Hal tersebut dapat dilakukan dengan beragam kegiatan positif yang dapat menunjang pengembangan hardskill maupun softskill. Keduanya harus kami miliki secara seimbang selaku insan cita yang berharap akan kebaikan dari waktu ke waktu.
Sebagai insan cita, teman kami sehari-hari adalah buku, pesta dan cinta. Ketiga unsur tersebut menjadi karakteristik yang dapat menjawab kebutuhan kami sebagai mahasiswa. Menjadi insan pembelajar memang tidaklah mudah, diperlukan rajin, tekun, dan pandai memanfaatkan situasi. Selain itu, insan cita bukan hanya unggul dalam intelektualitas, melainkan unggul dalam moralitas dan aplikatif terhadap nilai sosial. Insan cita dapat mengambil pengetahuan dari mana saja dan kapan saja saat proses perjalanan. Meminjam kata mutiara yang sampai saat ini menjadi referensi dalam kehidupan saya “Orang cerdas tidak akan menamai diri mereka sebagai orang cerdas”
Di tempat yang berbeda, Ia tidak sombong terhadap situasi yang membuatnya kurang nyaman, tetapi malah berbaur dengan orang baru. Ia mengosongkan pikirannya ketika berbicara dengan orang baru walaupun pendidikan atau latar belakangnya berbeda. Ia sadar bagaimana cara memperlakukan orang lain dengan bijak. Ia berbicara seadanya, berkualitas nan berbobot dan berupaya menyenangkan hati orang lain. Itulah ciri insan cita, dimanapun Ia berada senantiasa menunjukkan sisi kemanusiaan yang luhur. Dalam konteks tersebut berarti ilmu yang dimiliki bukan digunakan untuk menonjolkan kesombongan maupun kecongkakannya dalam kehidupan, ilmu yang dimiliki bukan digunakan sebagai batu loncatan yang akan menjamin dirinya sukses, bukan pula sebagai sarana kekuasaan untuk menginjak orang dibawahnya agar menjadi budak. ‘Audzubillah..
Ilmu yang kita miliki hendaknya membuat kita semakin lebih memahami falsafah kehidupan yang setiap waktu digunakan sebagai sarana untuk menyadarkan diri; berbuat lebih daripada orang lain dan berproses untuk menjadi insan yang lebih bermanfaat. Manfaat kehidupan setidaknya untuk diri sendiri yang semoga nantinya dapat bermanfaat bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Pengetahuan tidak cukup yang diperoleh dari pembelajaran di kelas saat jam perkuliahan, melainkan di tempat lain dalam berbagai kesempatan. Maka dari itu, setiap waktu kita membutuhkan asupan untuk pengetahuan baru dan kita harus berpikir bagaimana  menjadi sosok insan yang bermanfaat.
Dewasa ini, sudah sangat banyak orang yang cerdas secara intelektual, namun pada kenyataannya ada penyelewengan dan kebohongan dimana-mana, korupsi semakin merajalela, pembenaran dilakukan sedemikian rupa, dan sebagainya. Sudah bosankah kita dengan situasi tersebut? Menurut kacamata saya, hal tersebut dapat terjadi akibat seorang intelek tidak mampu memahami dirinya sendiri, menuhankan materi, dan yang paling esensial adalah karena tujuan awal kehidupan yang salah.Lantas, apa yang harus kita perbuat? Sudah saatnya kita memikirkan bagaimana agar kita tidak mengesampingkan moralitas dan berusaha untuk aplikatif dan peka terhadap keadaan sosial. Seringkali kita lupa, menjadi insan cita itu tidak terbatas pada kemampuan intelektual saja, melainkan bagaimana mengaplikasikan kebaikan melalui perilaku yang luhur. Realitas sosial yang terjadi sudah cukup mengkhawatirkan, belum terlambat bagi generasi selanjutnya untuk menanamkan nilai intelektual sekaligus nilai moral. Keduanya harus berjalan seimbang dan beriringan.
Pahlawan kita telah menitipkan negara ini kepada kita untuk mengisi pembangunan bangsa di masa depan. Sebagai insan cita, sudah selayaknya kita mampu berbuat; berkontribusi lewat pemikiran maupun aksi nyata positif. Insan cita harus berani menatap masa depan dan menjawab tantangan dengan lebih percaya diri. Cobalah mulai dari sekarang, mulai dari diri sendiri, dan mulailah dari hal-hal kecil. Jika kita sebagai insan cita sukar untuk merealisasikannya, maka perbanyaklah menghasilkan karya yang dimulai dari kesukaan dan perbanyaklah bergaul dengan orang yang banyak memberi manfaat dan pengaruh bagi orang disekitarnya.
Memang tidak mudah apabila semua harapan hanya impian belaka—sebatas pada perkataan tanpa memulai tindakan. Padahal kenyataannya, kehidupan bangsa ini sangat membutuhkan kita. Tiada salahnya kita mulai belajar menjadi insan cita yang diharapkan bangsa. Insan cita yang cerdas mengelola diri, cerdas mengelola emosi, dan cerdas mengatasi pelbagai persoalan. Mencoba menjadi pemimpin yang disegani, mencoba sesuatu yang berada di luar batas kemampuan. Percayalah tanpa kita sadari semua akan berjalan dengan lebih baik dan hasilnya pun akan melebihi ekspektasi.
Menjadi sosok pemimpin kemungkinan besar akan mengalami trial and error.Kesalahan pembuatan kebijakan sewaktu-waktu akan terjadi. Mengutip sebuah pernyataan “Pemimpin itu boleh salah, akan tetapi tidak boleh berbohong”. Hal tersebut menjadi suatu kenyataan bahwasanya kesalahan mungkin terjadi dan akan dialami oleh seorang pemimpin. Dan apabila kesalahan terjadi, itu bukanlah suatu hal yang mengerikan. Sebetulnya disitulah kita mulai mengalami proses pembelajaran tentang manajemen konflik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar