Oleh: Fitria Irmalasari *)
*) Ketua Umum HMI FIB UI 2015 dan
Mahasiswi Program Studi Ilmu Perpustakaan dan Informasi
Catatan
perjalanan kami selama kepengurusan Himpunan mahasiswa Islam (HmI)Fakultas Ilmu
Pengetahuan (FIB) Universitas Indonesia(UI) memang sarat akan pengalaman yang
sangat berharga bagi kami selaku kader HMI. Pengalaman di HMI memiliki nilai
lebih yang kami anggap luar biasa sebagai insan cita yang sedang haus akan pembelajaran.
Sudah biasa dalam suatu organisasi menyiapkan strategi organisasi yang
direpresentasikan melalui struktur organisasi; tugas, pokok, dan fungsi
organisasi yang akan dijalankan selama kepengurusan. Jika kegiatannya demikian,
bukan mustahil apabila terjadi kebosanan dalam melaksanakan program kerja. Maka
dari itu, kami menamai diri sebagai “insan cita” yang senantiasa haus akan
pengetahuan dan butuh pengamalan kehidupan dalam mempersiapkan masa depan yang
lebih berkualitas. Hal tersebut dapat dilakukan dengan beragam kegiatan positif
yang dapat menunjang pengembangan hardskill
maupun softskill. Keduanya harus kami
miliki secara seimbang selaku insan cita yang berharap akan kebaikan dari waktu
ke waktu.
Sebagai
insan cita, teman kami sehari-hari adalah buku, pesta dan cinta. Ketiga unsur
tersebut menjadi karakteristik yang dapat menjawab kebutuhan kami sebagai
mahasiswa. Menjadi insan pembelajar memang tidaklah mudah, diperlukan rajin,
tekun, dan pandai memanfaatkan situasi. Selain itu, insan cita bukan hanya
unggul dalam intelektualitas, melainkan unggul dalam moralitas dan aplikatif
terhadap nilai sosial. Insan cita dapat mengambil pengetahuan dari mana saja
dan kapan saja saat proses perjalanan. Meminjam kata mutiara yang sampai saat
ini menjadi referensi dalam kehidupan saya “Orang cerdas tidak akan menamai diri
mereka sebagai orang cerdas”
Di
tempat yang berbeda, Ia tidak sombong terhadap situasi yang membuatnya kurang
nyaman, tetapi malah berbaur dengan orang baru. Ia mengosongkan pikirannya
ketika berbicara dengan orang baru walaupun pendidikan atau latar belakangnya
berbeda. Ia sadar bagaimana cara memperlakukan orang lain dengan bijak. Ia
berbicara seadanya, berkualitas nan berbobot dan berupaya menyenangkan hati
orang lain. Itulah ciri insan cita, dimanapun Ia berada senantiasa menunjukkan
sisi kemanusiaan yang luhur. Dalam konteks tersebut berarti ilmu yang dimiliki
bukan digunakan untuk menonjolkan kesombongan maupun kecongkakannya dalam
kehidupan, ilmu yang dimiliki bukan digunakan sebagai batu loncatan yang akan
menjamin dirinya sukses, bukan pula sebagai sarana kekuasaan untuk menginjak
orang dibawahnya agar menjadi budak. ‘Audzubillah..
Ilmu
yang kita miliki hendaknya membuat kita semakin lebih memahami falsafah
kehidupan yang setiap waktu digunakan sebagai sarana untuk menyadarkan diri;
berbuat lebih daripada orang lain dan berproses untuk menjadi insan yang lebih bermanfaat.
Manfaat kehidupan setidaknya untuk diri sendiri yang semoga nantinya dapat bermanfaat
bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Pengetahuan tidak cukup yang
diperoleh dari pembelajaran di kelas saat jam perkuliahan, melainkan di tempat
lain dalam berbagai kesempatan. Maka dari itu, setiap waktu kita membutuhkan
asupan untuk pengetahuan baru dan kita harus berpikir bagaimana menjadi sosok insan yang bermanfaat.
Dewasa
ini, sudah sangat banyak orang yang cerdas secara intelektual, namun pada
kenyataannya ada penyelewengan dan kebohongan dimana-mana, korupsi semakin merajalela,
pembenaran dilakukan sedemikian rupa, dan sebagainya. Sudah bosankah kita
dengan situasi tersebut? Menurut kacamata saya, hal tersebut dapat terjadi
akibat seorang intelek tidak mampu memahami dirinya sendiri, menuhankan materi,
dan yang paling esensial adalah karena tujuan awal kehidupan yang salah.Lantas,
apa yang harus kita perbuat? Sudah saatnya kita memikirkan bagaimana agar kita
tidak mengesampingkan moralitas dan berusaha untuk aplikatif dan peka terhadap
keadaan sosial. Seringkali kita lupa, menjadi insan cita itu tidak terbatas
pada kemampuan intelektual saja, melainkan bagaimana mengaplikasikan kebaikan
melalui perilaku yang luhur. Realitas sosial yang terjadi sudah cukup
mengkhawatirkan, belum terlambat bagi generasi selanjutnya untuk menanamkan
nilai intelektual sekaligus nilai moral. Keduanya harus berjalan seimbang dan
beriringan.
Pahlawan
kita telah menitipkan negara ini kepada kita untuk mengisi pembangunan bangsa
di masa depan. Sebagai insan cita, sudah selayaknya kita mampu berbuat;
berkontribusi lewat pemikiran maupun aksi nyata positif. Insan cita harus
berani menatap masa depan dan menjawab tantangan dengan lebih percaya diri.
Cobalah mulai dari sekarang, mulai dari diri sendiri, dan mulailah dari hal-hal
kecil. Jika kita sebagai insan cita sukar untuk merealisasikannya, maka
perbanyaklah menghasilkan karya yang dimulai dari kesukaan dan perbanyaklah
bergaul dengan orang yang banyak memberi manfaat dan pengaruh bagi orang
disekitarnya.
Memang
tidak mudah apabila semua harapan hanya impian belaka—sebatas pada perkataan
tanpa memulai tindakan. Padahal kenyataannya, kehidupan bangsa ini sangat
membutuhkan kita. Tiada salahnya kita mulai belajar menjadi insan cita yang
diharapkan bangsa. Insan cita yang cerdas mengelola diri, cerdas mengelola
emosi, dan cerdas mengatasi pelbagai persoalan. Mencoba menjadi pemimpin yang
disegani, mencoba sesuatu yang berada di luar batas kemampuan. Percayalah tanpa
kita sadari semua akan berjalan dengan lebih baik dan hasilnya pun akan
melebihi ekspektasi.
Menjadi
sosok pemimpin kemungkinan besar akan mengalami trial and error.Kesalahan pembuatan kebijakan sewaktu-waktu akan
terjadi. Mengutip sebuah pernyataan
“Pemimpin itu boleh salah, akan tetapi tidak boleh berbohong”. Hal tersebut
menjadi suatu kenyataan bahwasanya kesalahan mungkin terjadi dan akan dialami
oleh seorang pemimpin. Dan apabila kesalahan terjadi, itu bukanlah suatu hal
yang mengerikan. Sebetulnya disitulah kita mulai mengalami proses pembelajaran
tentang manajemen konflik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar