BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Filsafat merupakan induk dari segala ilmu pengetahuan, karena dalam
filsafat banyak ilmu yang dikaji. Filsafat adalah pandangan tentang dunia dan
alam yang dinyatakan secara teori. Filsafat adalah suatu ilmu atau metode
berfikir untuk memecahkan gejala-gejala alam dan masyarakat. Filsafat
mempersoalkan soal-soal: etika/moral, estetika/seni, sosial dan politik,
epistemologi/tentang asal pengetahuan, ontologi/tentang manusia, dan objek
kajian lainnya. Dalam hal ini, penulis ingin mengkaji mengenai Filsafat Seni.
Filsafat seni identik membahas mengenai
nilai rendah dan tidak rendah, karenanya lebih cenderung untuk
diterapkan kepada soal seni. Namun, dalam filsafat seni dapat dikatakan
subjektif. Filsafat seni mempersoalkan status ontologis dari sebuah karya seni
dan mempertanyakan pengetahuan apakah yang dihasilkan oleh seni, serta apakah
yang dapat diberikan oleh seni untuk menghubungkan manusia dengan realitas. Menurut
kaum empiris dari zaman Barok, permasalahan seni ditentukan oleh reaksi
pengamatan terhadap karya seni. Perhatian terletak pada penganalisisan terhadap
rasa seni, rasa indah, dan rasa keluhuran (keagungan). Namun berdasarkan pernyataan
tersebut, yang menjadi permasalahan adalah bahwa filsafat seni di satu pihak
menekankan pada penganalisisan obyektif dari benda seni, di pihak lain pada
upaya subyektif pencipta dan upaya subyektif dari apresiator. Hal tersebut
menimbulkan persoalan mengenai filsafat seni. Dengan demikian, penulis akan mengkaji
lebih dalam mengenai filsafat seni; definisi yang dikemukakan oleh para filsuf
tetapi lebih menekankan dan mengkaji pada pemikiran filsuf Arthur Schopenhauer
- pemikiran, permasalahan, serta kritik
dalam filsafat seni.
1.2 Perumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud Filsafat Seni?
2.
Kapan
sejarah munculnya Filsafat Seni di dunia?
3.
Bagaimana
perkembangan Filsafat Seni di dunia?
4.
Bagaimana
pemikiran para Filsuf dari Barat mengenai Filsafat Seni?
5.
Siapa
tokoh yang memprakarsai Filsafat Seni?
6.
Bagaimana
jika Filsafat Seni dihubungkan dengan Filsafat Ilmu pengetahuan?
7.
Siapa
Arthur Schopenhauer dan bagaimana profil kehidupannya?
8.
Bagaimana
dasar pemikiran Arthur Schopenhauer dalam Filsafat
Seni?
9.
Bagaimana karakteristik
filsafat seni jika dihubungkan dengan keindahan?
10.
Bagaimana Arthur Schopenhauer menjadikan Filsafat Seni sebagai
objek kajian yang menarik?
11.
Bagaimana objek
kajian ilmu dalam Filsafat Seni?
12.
Apa
pengaruh ketika Filsafat Seni terdapat di dunia?
13.
Bagaimana
Teori Seni dan gerakan seni abad ke-20 dan kontemporer ?
14.
Apa
kritik filsafat terhadap pemikiran Arthur Schopenhauer di era modern?
1.3 Tujuan Laporan
1.
Untuk
mengetahui definisi Filsafat Seni sebagai ilmu pengetahuan.
2.
Untuk
mengetahui pemikiran filsuf dari Barat
mengenai Filsafat Seni?
3.
Untuk
mengetahui salah seorang filsuf dalam Filsafat Seni: Arthur Schopenhauer.
4.
Untuk
mengkaji dan menelaah dasar pemikiran Arthur Schopenhauer dalam Filsafat Seni.
5.
Untuk
mengetahui peran Arthur Schopenhauer dalam Filsafat Seni.
6.
Untuk
mengetahui peran Filsafat Seni dalam kehidupan Modern.
7.
Untuk
mengetahui Teori Seni dan gerakan seni abad ke-19 dan kontemporer.
1.4 Manfaat Laporan
1.
Sebagai
pengetahuan dan pemahaman bagi saya, mahasiswa, pembaca, maupun masyarakat secara
umum.
2.
Sebagai
informasi tentang Filsafat Seni jika diterapkan dalam kehidupan.
3.
Sebagai
informasi dan pemahaman mengenai sejarah perkembangan Filsafat Seni.
4.
Sebagai
pengetahuan dari Filsuf Barat mengenai pemikirannya tentang Filsafat Seni.
5.
Sebagai
pemahaman mengenai hubungan Filsafat Seni dengan keindahan dan ilmu
pengetahuan.
6.
Sebagai
kritik filsafat tentang Filsuf Arthur Schopenhauer dalam pemikirannya tentang
Filsafat Seni.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Filsafat Seni
Untuk memahami filsafat seni atau estetika, terlebih dahulu kita
melihat kedudukan seni dalam keseluruhan sistem filsafat filsuf ini. Istilah
seni (art) berasal dari kata latin Ars yang berarti seni,
keterampilan, ilmu dan kecakapan. Ada beberapa definisi mengenai seni dan
filsafat seni yang dikemukakan oleh para filsuf seni. Diantaranya oleh G.W.F
Hegel (1770-1831), seorang Filsuf Idealisme Jerman, berpendapat seni adalah
medium material sekaligus faktual. Keindahan karya seni bertujuan menyatakan
kebenaran. Baginya kebenaran adalah "keseluruhan". Sehubungan dengan
gagasan kebenaran yang dikemukakannya, karya seni adalah presentasi indrawi
dari ide mutlak (Geist) tingkat pertama. Dalam pemikiran Hegel, ide atau
roh subyektif dan roh obyektif senantiasa berada didalam ketegangan. Ide-ide
mutlak mendamaikan ketegangan ini. Maka sebagai ide mutlak tingkat pertama pada
seni roh subyektif dan roh obyektif didamaikan. Subyek dan obyek kemudian
berada didalam keselarasan sempurna. Menurut Arthur Schopenhauer sendiri, seni merupakan segala usaha untuk menciptakan
bentuk-bentuk yang menyenangkan, tiap orang senang dengan seni musik meskipun
seni musik adalah seni yang paling abstrak. Berbicara tentang filsafat seni, simbol-simbol perlu mendapat perhatian
untuk mempertahankan segi “misteri” pengalaman manusia. Filsafat seni bagi para
filsuf seni, berbicara mengenai ide, makna, pengalaman, intuisi, semua
menunjukkan sifat simbolik dari seni. Pada
awalnya, Socrates yang berpikir mengenai filsafat seni, sehingga Ia dikenal
sebagai Bapak Filsafat Seni/Keindahan. Panggilan
filosofis dalam konteks filsafat seni menuntut kerelaan, keterbukaan, dan tidak
pernah prasangka apriori. Artinya, persoalan seni dapat dibahas dari sudut pandang disiplin
ilmu manapun. Dalam definisi mengenai seni merupakan proses cipta, rasa, dan
karsa. Seni tidak akan ada bila manusia tidak dihadiahi daya cipta. Filsafat
dan seni sebagai komunikasi yang kreatif, tetapi cara dan tujuannya berbeda.
Filsafat adalah : usaha
mencari kebenaran, sedangkan seni lebih pada kreasi dan
menikmati nilai. Bahkan
bila seni menggunakan bahasa seperti dalam sastra, penggunaan ini tidak sama
dalam filsafat. Tujuan dari seni adalah membangkitkan emosi estetik, sementara dalam filsafat, bahasa adalah alat untuk mengucapkan kebenaran.
Melalui filsafat seni, pemahaman tentang seni akan lebih kaya. Banyak hal yang
dapat dipertanyakan. Namun, pertanyaan sebagai tantangan, bahwa filsafat seni
adalah bukan sekedar sejarah seni.
2.2 Sejarah Filsafat Seni/Estetika
Sejarah perkembangan estetika didasarkan pada sejarah perkembangan estetika
di Barat yang dimulai dari filsafat Yunani Kuno. Hal ini dikarenakan estetika
telah dibahas secara terperinci berabad-abad lamanya dan dikembangkan dalam
lingkungan Filsafat Barat. Hal ini bukan berarti di Timur tidak ada pemikiran estetika. Sebagaimana
filsafat sejarah menurut Hegel adalah sejarah filsafatnya itu sendiri, demikian
pula filsafat seni tampaknya tidak lain dalam sejarah seni itu sendiri. Roh
merealisasikan diri dalam waktu, dan itulah yang disebut dengan sejarah. Sejarah
kesenian menguraikan fakta obyektif dari perkembangan evolusi bentuk-bentuk
kesenian, dan mempertimbangkan berbagai interpretasi psikologis. Sepanjang
sejarah filsafat, pandangan dan pendapat dari para filsuf tentang masalah
estetis sangatlah bervariasi. Dalam buku Pengantar Filsafat oleh Jan
Hendrik Rapar, Berdasarkan sejarah periode filsafat seni/estetika, pada abad
pertengahan seni tidak begitu mendapat perhatian dari para filsuf. Itu karena
gereja Kristen semula bersikap memusuhi seni karena dianggap duniawi dan
merupakan produk bangsa kafir Yunani dan Romawi. Akan tetapi, pada saat itu filsuf
Augustinus (354-430) memiliki minat cukup besar pada seni. Ia menciptakan suatu
Filsafat Platonisme Kristen dengan mengajarkan bentuk-bentuk Platonis (Platonic
forms) Sementara G.W.F Hegel (1770-1831) dan Arthur Schopenhauer 1788-1860)
mencoba menyusun tata jenjang bentuk-bentuk seni itu. Bagi pemikiran Hegel,
Arsitektur berada pada tingkatan paling bawah dan puisi berada pada puncaknya.
Secara garis besarnya,
tahapan periodisasi estetika/seni disusun dalam delapan periode, yaitu:
1) Periode Klasik (dogmatik)
2) Periode Skolastik
3) Periode Rennaisance
4) Periode Aufklarung
5) Periode Idealis
6) Periode Romantik
7) Periode Positifistik
8) Periode Kontemporer
A. Periode Klasik
(Dogmatik)
Dalam periode ini para filsuf
yang membahas estetika diantaranya adalah Socrates, Plato dan Aristoteles. Dari
ketiga filsuf tersebut dapat dikatakan bahwa Socrates sebagai perintis, Plato
yang meletakkan dasar-dasar estetika dan Aristoteles yang meneruskan
ajaran-ajaran Plato.
Dalam periode ini ada beberapa ciri mengenai pandangan estetikanya, yaitu:
1. Bersifat metafisik
Keindahan adalah ide,
identik dengan ide kebenaran dan ide kebaikan. Keindahan itu mempunyai
tingkatan kualitas, dan yang tertinggi adalah keindahan Tuhan.
2. Bersifat objektifistik
Setiap benda yang
memiliki keindahan sesungguhnya berada dalam keindahan Tuhan. Alam menjadi
indah karena mengambil peranannya atau berpartisipasi dalam keindahan Tuhan.
3. Bersifat fungsional
Pandangan tentang seni
dan keindahan haruslah berkaitan dengan kesusilaan (moral), kesenangan,
kebenaran serta keadilan.
2.3 Pernyataan Filsuf tentang Filsafat Seni
Para filsuf
mengemukakan pemikirannya pada Filsafat Seni. Pendapat dari Plato, yakni Seni
adalah keterampilan untuk memproduksi sesuatu, bagi Plato apa yang disebut
dengan hasil seni adalah tiruan (immitation), sebagai contohnya pelukis
yang sedang melukis panorama alam sesungguhnya hanya meniru panorama alam yang
pernah dilihatnya. Begitupun dengan Aristoteles, ia sependapat dengan Plato
yang menganggap bahwa seni merupakan tiruan dari berbagai hal yang ada. Namun
perbedaannya adalah, Plato menganggap bahwa seni itu tidak begitu penting
meskipun karya tulisnya adalah karya-karya seni sastra yang tak tertandingi
sampai sekarang ini, Aristoteles justru menganggap penting karena memiliki
pengaruh besar bagi manusia.
Filsuf
lain, Alexander Baumgarten (1714-1762), seorang filsuf Jerman adalah yang
pertama memperkenalkan kata aisthetikal. Baumgarten memilih estetika
karena ia mengharapkan untuk memberikan tekanan kepada pengalaman seni sebagai
suatu sarana untuk mengetahui (The perfection of sentient knowledge).
2.4 Kritik
Seni
Kritik seni termasuk dalam filsafat seni. Kritik seni merupakan
kegiatan subyektivitas pada suatu bentuk artistik juga moralnya sebagai
pencerminan pandangan hidup penciptanya. Pertimbangan berdasarkan ukuran sesuai
dengan kebenaran berpikir logis. Maka kritik hampir selalu mengarah pada
filsafat seni. Penjelasan lain mengenai kritik seni yakni sebagai bidang
pengetahuan dan sebagai proses kegiatan. Namun demikian, dalam arti umum sesungguhnya
kritik adalah suatu penafsiran yang beralasan dan penghargaan terhadap suatu
hal berdasarkan pengetahun, ukuran baku dan cita rasa yang bertalian dengan hal
itu dari orang yang melakukanya. Jadi kritik lebih mengutamakan perbuatan yang
bersifat pribadi, berdasarkan keyakina subyektif dan cita rasa perseorangan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Filsuf:
Arthur Schopenhauer
3.1.1 Profil Arthur Schopenhauer
Arthur Schopenhauer adalah seorang filsuf Jerman yang melanjutkan
tradisi filsafat pasca-Kant. Schopenhauer lahir di Danzig pada tahun 1788. Dia
adalah putra dari Heinrich Floris Schopenhauer dan Johanna Schopenhauer. Kedua
orang tuannya adalah keturunan orang kaya Jerman dan keluarga bangsawan. Ia
menempuh pendidikan di Jerman, Perancis, dan Inggris. Ia mempelajari filsafat di University of
Berlin dan mendapat gelar doktor di Universitas Jena pada tahun 1813. Ia
menghabiskan sebagian besar hidupnya di Frankfurt, dan meninggal dunia
di sana pada 21 September 1860. Pada tahun 1814, Schopenhauer memulai
pekerjaannya sebagai penulis dengan judul bukunya The World as Will and
Representation (Die Welt als Wille und Vorstellung), Dunia sebagai Kehendak
dan Gagasan.
(Arthur Schopenhauer)
3.1.2 Pemikiran Arthur Schopenhauer
Arthur Schopenhauer merupakan salah satu filsuf yang memberikan ide
tentang filsafat seni/estetika yang berpengaruh pada abad ke-18. Dalam perkembangan
filsafat, Schopenhauer dipengaruhi dengan kuat oleh Imanuel Kant dan juga
pandangan Buddha. Pemikiran Kant nampak di dalam pandangan Schopenhauer tentang
dunia sebagai ide dan kehendak. Schopenhauer mengembangkan pemikiran Immanuel Kant
tersebut dengan menyatakan bahwa benda pada dirinya sendiri itu bisa diketahui,
yakni "kehendak". Filsafat Schopenhauer hadir sebagai suatu reaksi
terhadap filsafat Hegel. Dalam Hegel masih ditemui suatu optimisme rasional;
segala ‘Ada’ akhirnya bersifat rasional, bermakna dan dapat dimengerti.
Schopenhauer berbeda dalam hal rasionalitas dan kebermaknaan Ada tersebut;
dasar ada tidak lagi rasional, melainkan irasional, dan tidak berbentuk
kesadaran melainkan ketidaksadaran. Karya utama Schopenhauer, yang membuatnya
terkenal, “Die Welt als Wille und Vorstellung” (Dunia sebagai Kehendak dan
Presentasi) bermula dengan penilaian tentang hakekat dan batas-batas pemahaman,
tetapi tidak dengan pernyataan-pernyataan dogmatis tentang prinsip-prinsip
metafisika.
Ia mempengaruhi beberapa filsuf
dengan pemikirannya. Bahkan, Hittler mengaguminya. Menurut Schopenhauer, dunia
ini adalah representasi ide atau pemikiran kita. Realitas adalah kehendak itu
sendiri. Akan tetapi, kehendak itulah sumber penderitaan manusia. Untuk
melepaskan diri dari penderitaan, menurut Schopenhauer, kita harus
menghilangkan kehendak egoistik, menyerah kepada kosmik, dan menolong sebanyak
mungkin orang. Schopenhauer mempunyai sebuah undang-undang yang kuat. Pemikiran
Schopenhauer banyak dipengaruhi oleh pandangan Buddha dan paham filsuf Imanuel
Kant. Kekagumannya kepada keduanya itu amat besar. Hal ini terlihat dari ruang
kerjanya dipasang dengan kedua patung tokoh tersebut. Pemikiran Arthur
Schopenhauer berikut ini, antara lain:
1)
Dunia
Sebagai Ide/Gambaran
Schopenhauer
melihat dirinya sebagai bocah yang merevolusi Kant’s Copernican, sendirian
membawa proyek masternya ke kesimpulan logika. Kant mempunyai argumen bahwa ada
sebuah epistemic distingsi di antara dunia yang telah kita alami, dunia yang kelihatannya,
dan dunia yang sebenarnya. Kita semua ide atau representasi. “Dunia adalah
representasi saya,” tulis Schopenhauer. Schopenhauer membuka buku The World
as Will and Representation-nya dengan kalimat, “The World is my idea”.
Menurut Schopenhauer, benda yang dapat kita kenal adalah gambaran
representasinya.
2)
Kehendak
Hidup
Menurut
Schopenhauer, ada dua aspek: di luar, yakni representasi, dan di dalam, yakni
kehendak. Dunia adalah gambaran/kehendak. Kehendak adalah esensi dari kehidupan
ini, kita hanya dapat mengenal dunia sesuai penampilannya kepada kita. Untuk
dapat mengenal dunia, kita tidak mempunyai jalan masuk ke sana. Hanya ada satu
pintu dan pintu itu adalah kehendak. Menurut Schopenhauer, kehendak itu bisa
dimanifestasikan sebagai tubuh kita. Jadi, kita melihat representasi dunia
dengan tubuh kita. Sebelum kita melangkah kepada pembahasan yang lebih jauh,
terlebih dahulu kita melihat apa yang melatar belakangi pemikiran tersebut.
Di belakang
pemikiran Schopenhauer, dapat kita temukan pemikiran Plato dan Immanuel Kant.
Pengaruh Plato tampak pada pandangannya (thing in it- self) , dan
Schopenhauer memahaminya sebagai sumber ide. Sedangkan, pengaruh Immanuel Kant
dapat dilihat dalam pandangannya dalam dua dunia, yakni dunia noumenal dan
fenomenal. Dari pandangan mengenai
pemahaman dunia itu, ada baiknya membahas dunia sebagai ide dan dunia sebagai
kehendak.
a)
The
world is my idea merupakan kata pembuka dari karya besar
Schopenhauer. The world as will and the world is idea. Maksud dari
kalimat tersebut dapat dimengerti sangat “berbau” kantian. Dalam kalimat tersebut, Schopenhauer
menegaskan bahwa dunia eksternal yaitu dunia fenomenal, Hanya dapat diketahui
melalui sensasi-sensasi atau ide-ide yang dapat kita terima. Disini dapat kita
lihat bahwa peran subjek sangat dominan dalam pandangan Schopenhauer mengenai
pengetahuan. Hal tersebut tentu dapat dipahami sebagai sebuah penolakan
terhadap matrealisme. Dalam matrealisme kenyataan direduksi menjadi
materi saja. Dengan menyatakan demikian, Schopenhauer menyangkal matrealisme.
Bagaimana orang dapat menjelaskan bahwa pikiran merupakan hasil dari materi,
jika kita mengetahui materi dari pikiran. Jika kita mengetahui materi dari
pikiran?, Materi tidak pernah berdiri sendiri. Subjek memiliki otoritas atas
materi. Tidak akan ada objek tanpa subjek, segala pengetahuan yang terdapat
didunia ini merupakan konstruksi subjek. Melalui mata subjek melihat, melalui
tangan ia meraba, dan melalui pengertiannya ia mengetahui. Dunia ide tak lebih hanyalah
sensasi-sensasi belaka. Mereka tidak akan pernah berdiri sendiri tanpa adanya
subjek yang mempersepsi. Dalam hal ini. bagi Schopenhauer dalam menyelidiki
sesuatu yang benarnya, yang ditemukan hanyalah: kesan-kesan dan nama-nama.
Jadi, dalam dunia fenomenal kenyataan merupakan objek dalam relasinya dengan
subjek. Sebuah persepsi dari subjek yang mempersepsi, dengan kata lain dapat
menyebutnya dengan Semu.
3)
Keselamatan
dari Penderitaan Eksistensi
Bagi
Schopenhauer, realitas adalah kehendak itu sendiri spiritual, bukan material -
tetapi kehendak adalah penderitaan. Manusia terus-menerus berkehendak, terus
berpindah dari kehendak satu ke kehendak yang lain. Menurut Schopenhauer, jalan
keselamatan adalah Hindu. Penolakan terhadap nafsu, menghilangkan kehendak,
membebaskan manusia dari ilusi dan penderitaan. Solusi dari permasalahan
penderitaan ini adalah menghilangkan egoistis kehendak dan menyerah kepada
kosmik. Estetika yang dikemukakan oleh Schopenhauer merupakan jalan keluar dari
penderitaan, walaupun sifatnya hanya sementara. Penderitaan dalam hidup bisa
disembuhkan oleh seni. Manusia yang hidup dalam keadaan patologis, dapat
diangkat oleh keindahan seni. Schopenhauer menyebut seni-seni yang dapat
mengatasi problem ini, seperti arsitektur, seni lukis, seni pahat atau patung,
puisi dan musik. Dan, ia sangat meninggikan seni musik dalam filsafat
Kehendaknya. Musik menjadi puncak dari segala bentuk seni yang lain.
4)
Moralitas
Menurut
Schopenhauer, pada dasarnya manusia itu egois. Egoisme itulah yang melahirkan
penderitaan. Untuk menghilangkan penderitaan itulah manusia harus melepaskan
egoismenya, melepaskan diri dari kehendak, dan jalan moralitas adalah salah
satu jalan pelepasan kehendak. Manusia harus melepaskan egoismenya dan menolong
orang sebanyak yang dia mampu. Tampaknya Schopenhauer sangat terpengaruh oleh
agama Hindu.
5)
Schopenhauer,
Seks, dan Psikoanalisis
Bagi
Schopenhauer, seks adalah “penegasan terhadap kehendak yang paling kuat. Itu
kehendak hidupnya yang final dan tujuannya yang paling tinggi”. Oleh karena itu
Schopenhauer memandang kelamin sebagai “fokus yang riil dalam kehendak”.
Dalam buku karya Kumara Ari Yuana: 100 tokoh filsuf
Barat abad 6 sampai abad ke-21, Schopenhauer dianggap berjasa karena mempopulerkan pikiran Immanuel Kant dengan
kombinasi unsur Filsafat Timur. Sifat uniknya adalah ia selalu melihat orang
lain dengan curiga dan sinis serta kesan umum atas hidup adalah Pesimistik yang
tak tergantikan. Hal tersebut tidak menjadikan Ia kehilangan rasa nikmat di
dalam banyak hal, antara lain: musik, makanan, anggur, perjalanan, dan tamasya.
Ketika merasa bosan, ia akan terlihat gembira dan hidup. Gaya tulisannya
mempengaruhi pemikiran Friedrich Nietzsche dan Max Schler serta aliran
“filsafat hidup”.
6) Keputusan dan Hukuman
Schopenhauer
menjelaskan seseorang yang hendak mengambil keputusan. Menurut dia, ketika kita
mengambil keputusan, kita akan diperhadapkan dengan berbagai macam akibat. Oleh
sebab itu, keputusan yang diambil memiliki alasan atau dasar.
Keputusan-keputusan ini menjadi tidak bebas lagi bagi si pemilihnya. Pemilih
itu harus diperhadapkan kepada beberapa akibat dalam sebuah keputusan. Segala
tindakan yang dilakukan seseorang merupakan kebutuhan dan tanggung jawabnya.
Pemikiran
khas Schopenhauer dalam estetika: Musik sebagai seni tertinggi
Musik
sebagai Seni Tertinggi Menurut Schopenhauer, musik itu berdiri sendiri, berbeda
dari seni-seni yang lainnya. Seni-seni yang lain mengulangi atau menyalin ide
tentang eksistensi. Schopenhauer menyatakan bahwa seni-seni yang lain merupakan
ungkapan dari Kehendak, sedangkan musik adalah Kehendak itu sendiri. Musik
memiliki pengaruh yang sangat kuat pada inti kodrat manusia. Oleh karena itu,
musik dimengerti dalam kesadaran sebagai ‘bahasa universal’.
Semua seni
mempengaruhi kita secara menyeluruh dengan cara yang sama. Akan tetapi,
pengaruh musik lebih kuat, lebih cepat, lebih bernilai, dan tak dapat salah.
Selain itu hubungan representasinya dengan dunia lebih dalam dan tepat, karena
musik dapat dimengerti oleh setiap orang. Titik banding antara musik dan dunia
sangat jelas. Manusia memainkan musik sepanjang masa tanpa dapat
menjelaskannya. Untuk mengerti musik secara langsung, orang meninggalkan semua
klaim terhadap pemahaman langsung tersebut.
Ide
merupakan objektivasi Kehendak yang mencukupi. Semua seni menggunakan
representasi hal-hal pertikular untuk membangkitkan pengetahuan ini. Semua seni
mengobjektivasikan Kehendak secara tidak langsung dengan menggunakan ide. Dunia
merupakan manifestasi ide dalam penggandaan lewat ‘prinsip alasan memadai’ (principium
individuationis). Prinsip ini dipakai oleh Schopenhauer untuk membedakan
individu dari individu yang lain sebagai pengetahuan yang mungkin. Musik tidak
tergantung pada dunia fenomenal, karena dunia adalah perwujudan ide; dan musik
melampaui ide-ide. Seandainya dunia sudah tidak ada, musik tetap dapat ada.
Musik tidaklah seperti seni lainnya sebagai tiruan, yakni sebagai ide. Musik
merupakan objektivasi serta kopi seluruh Kehendak serperti dunia itu sendiri.
Karenanya dampak musik menjadi begitu kuat dan langsung. Musik tidak berbicara
tentang bayangan, melainkan tentang dirinya sendiri. Musik adalah bahasa
tentang perasaan dan penderitaan manusia, sedangkan kata-kata merupakan bahasa
akal budi. Dalam kodrat manusia yang paling mendasar terdapat suatu Kehendak
yang selalu ingin agar Kehendaknya dipuaskan. Kebahagiaan serta kesejahteraan
justru terletak di sini. Jika suatu keinginan tercapai, artinya ada suatu
kepuasan dan kepuasan ini akan mencari keinginan baru lagi dan lagi. Sedangkan
penderitaan adalah jika kepuasan ini tidak terpenuhi. Dalam musik Kehendak
diwakili oleh melodi. Jadi, melodi mengungkapkan berbagai usaha Kehendak, dan
kepuasan yang tercermin dalam interval-interval harmonis serta nada dasar.
Melodi sebagai pengungkapan perasaan dan Kehendak manusia yang paling dalam
merupakan sebuah karya jenius, dan tindakannya melampaui kesadaran biasa. Dalam
semua seni konsep-konsep tidaklah bermanfaat serta mencukupi, karena para
komponis mengungkapakan inti kodrat manusia paling dalam yang tidak dimengerti
oleh akal. Maka dalam semua usaha untuk menjelaskan musik, konsep terlihat
tidak mencukupi dan menjadi sangat terbatas. Seperti juga kebahagiaan atau
penderitaan yang merupakan rasa puas yang terpenuhi atau rasa puas yang tidak
terpenuhi, melodi dalam musik juga menggambarkan hal yang sama. Rasa senang
atau gembira digambarkan dengan melodi yang ceria, lincah serta interval
konsonan, sedangkan rasa sedih atau penderitaan diwakili oleh melodi yang
lambat, melankolis, interval disonan yang menunjukkan kepedihan, keputusasaan
atau kegalauan. Efek mayor dan minor dalam musik memang sangat mengagumkan.
Perubahan akord mayor ke minor menimbulkan perasaan yang menyakitkan, seperti
rasa sedih, cemas, kasihan dsb. Akord mayor membebaskan kita dari
perasaan-perasaan demikian, karena ia mungkin memberikan rasa puas, seperti
rasa tegar, gembira, optimis, dan lain-lain. Dalam buku Schopenhuer The
World as Will and Representation (1819), Arthur Schopenhauer menulis bahwa
“musik adalah jawaban dari misteri kehidupan. Kebanyakan tersusun dari segala
seni, musik mengekspresikan pemikiran terdalam dari hidup.”
KESIMPULAN
Dapat
dikatakan bahwa bagi Schopenhauer, seni bukan merupakan tempelan atau jiplakan
saja. Estetikanya tidak dapat dilepaskan dari filsafatnya yang berpusat pada
Kehendak. Kehendak adalah dasar dari semua hal, dan juga menjadi sumber
penderitaan manusia di dunia ini. Dan manusia yang Kehendakknya tidak
terpuaskan akan terus menderita dan mengalami kesengsaraan. Menurut
Schopenhauer, seni membebaskan manusia dari tekanan Kehendak. Kehendak itu
mengobjektivasi diri dalam seni. Objektivasi ini terjadi melalui dua cara.
Pertama, melalui ide dalam bentuk seni arsitektur, seni lukis, seni pahat,
puisi dan drama. Kedua, secara langsung tanpa perantara, yakni dalam seni
musik. Inilah criteria kenapa musik mendapat posisi dan penilaian tertinggi
dalam filsafat Schopenhauer.
DAFTAR REFERENSI
1) Sutrisno, dkk. 2005. Kata kunci estetika filsafat seni. Yogyakarta: Galang press.
2) Rapar, jan hendrik. 2010. Pengantar Filsafat: Pustaka filsafat. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
3) Yuana, kumara ari. 100 tokoh filsuf Barat abad 6 sampai abad 21.
4)
http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._SENI_RUPA.pdf. diakses pada 20 Oktober 2013 pukul 14:54 WIB.
5)
http://www.alikoto-artgallery.com/2012/12/kritik-seni.html. diakses pada 20 Oktober 2013 pukul 16:56 WIB.
7)
Filosofi
Musik
http://www.bglconline.com/2013/02/filosofi-musik/. Diakses pada 22 Oktober 2013 pukul 17:43 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar